Beranda | Artikel
Fikih Riba (Bag. 2): Hukum Riba dalam Islam
9 jam lalu

Pada seri sebelumnya, kita telah membahas tentang definisi riba. Mengetahui hukum riba itu sendiri tentunya tidak kalah penting, agar suatu hal yang mungkin masih samar-samar bagi sebagian kaum muslimin akan jelas terlihat antara yang halal dan haram.

Manfaatnya, ketika halal, maka dapat (boleh) dikerjakan; dan ketika haram, maka dijauhi. Sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang telah mengetahui hukum riba itu sendiri, namun masih sulit untuk meninggalkannya. “Kalau tidak makan riba, keluarga saya mau makan apa?” “Saya tau riba itu haram, tapi apakah Anda bisa memberi saya makan?” Dan statement-statement yang lainnya.

Barangkali hal itu berangkat dari pengetahuan tentang riba yang masih sebatas kulitnya saja, atau hanya desas-desus semata yang terdengar dari sebagian orang yang menyampaikan. Sehingga dengan terpaksa statement tersebut harus keluar.

Hukum riba dalam Islam

Perlu diketahui bahwa ahli fikih bersepakat bahwa hukum riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni,

الرِّبَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: رِبَا الفَضْل وَرِبَا النَّسِيْئَة وَأَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى تَحْرِيْمِهِمَا

Riba ada dua jenis: riba fadhl dan riba nasi’ah, dan ahli ilmu (para ulama) telah bersepakat akan keharaman keduanya.”

Hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah menantang perang kepada seseorang kecuali bagi mereka yang terus-menerus bermuamalah dengan riba setelah datangnya peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِیَ مِنَ ٱلرِّبَوٰۤا۟ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُوا۟ فَأۡذَنُوا۟ بِحَرۡبࣲ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَالِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 278-279)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan tentang sebab turunnya ayat di atas. Yaitu, ayat ini turun kepada Bani ‘Amr bin ‘Umair dari Tsaqif dan Bani Al-Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara kedua suku tersebut dahulu terdapat transaksi riba jahiliah. Ketika Islam datang dan mereka masuk Islam, Tsaqif pun menuntut agar dapat mengambil (sisa riba) tersebut dari mereka (Bani Al-Mughirah). (Tafsir Ibnu Katsir surah Al-Baqarah ayat 278-279)

Kemudian mereka pun bermusyawarah, Bani Al-Mughirah berkata, “Kami tidak akan membayar riba di dalam Islam.” Maka ‘Attab bin Asid (wakil gubernur Mekkah) menuliskan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian turunlah ayat di atas.

Mereka berkata, “Kami semua bertobat kepada Allah, dan kami tinggalkan sisa-sisa dari riba.” Mereka pun meninggalkan seluruhnya.

Sehingga ini merupakan ancaman yang begitu keras bagi orang-orang yang terus berkelanjutan dalam riba, tenggelam dalam riba, dan terus menikmatinya setelah datangnya peringatan. Yaitu, tantangan perang dari Allah Ta’ala secara langsung.

Bahkan terdapat atsar dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

يُقَالُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِآكِلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلْحَرْبِ. ثُمَّ قَرَأَ: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾

“Dikatakan pada hari kiamat kelak kepada orang-orang yang mengharamkan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (dengan Allah).’ Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan firman Allah Ta’ala, ‘Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya’.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Tidak cukup sampai di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa riba termasuk dari tujuh hal yang membinasakan. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجتَنِبوا السَّبْعَ المُوبِقاتِ. قيل: يا رَسولَ اللهِ، وما هُنَّ؟ قال: الشِّركُ باللهِ، والسِّحرُ، وقَتْلُ النَّفسِ التي حرَّم اللهُ إلَّا بالحَقِّ، وأكْلُ الرِّبا، وأكْلُ مالِ اليَتيمِ، والتوَلِّي يومَ الزَّحفِ، وقَذْفُ المُحْصَناتِ الغافِلاتِ المُؤمِناتِ

“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Dikatakan kepada Rasulullah, ‘Apa saja, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh wanita baik-baik (suci), yang lalai (dari tuduhan), lagi beriman (dengan tuduhan zina).” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan riba termasuk dari dosa besar yang paling besar. Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الربا ثلاثةٌ وسبعونَ بابًا ، وأيسرُها مثلُ أنْ ينكِحَ الرجلُ أمَّهُ ، و إِنَّ أربى الرِّبا عرضُ الرجلِ المسلمِ

“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling besar (paling keji) adalah (merusak) kehormatan diri seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Bahkan tidak tanggung-tanggung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan para pemakan riba dan orang-orang yang ikut serta dan membantu dalam transaksi riba dengan doa agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala,

 لَعَنَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkannya, yang menulisnya, dan kedua saksinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka semua sama.” (HR. Muslim)

Demikianlah di antara dalil yang menjelaskan tentang haramnya riba dengan sejelas-jelasnya. Disertai dengan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang masih memakan riba, padahal ilmu telah sampai kepadanya.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dan keluarga kita dari memakan harta yang haram, dan juga semoga Allah menjauhkan kita semua dari riba. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Depok, 22 Jumadal Ula 1447/ 12 November 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy dan Tafsir Ibnu Katsir.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110357-fikih-riba-bag-2.html